Senin, 28 Desember 2009

Baik belum Tentu Benar




“Ha ha… Jngn lupa psn ticket ke Mdo biar ms murah..slm rindu.”




Bulan Oktober tahun 2007. Saya sedang menonton jazz di Ubud, Bali. Gitaris kelas dunia Balawan sedang main di café Phantom of the Opera di desa Pengosekan, milik adik Balawan. Setiap ke Bali, saya dan pacar saya Lince selalu menyempatkan nonton konser Balawan. Di tengah pertunjukan Balawan, telepon genggam Lince berdering. Katanya telepon dari kak Yen. Begitulah Lince menyebut Jenny Tamengkel Adam, teman in de kosten-nya di kompleks perumahan Pertamina Rawamangun, Jakarta Timur. Mereka berbicara dengan akrab. Lalu, Lince memberikan handset-nya kepada saya dan mengenalkan saya pa Jenny.

Saya pura-pura tahu bahasa Melayu Manado ketika berbicara deng Jenny. Jenny terkesan dengan dialek Melayu Manado saya yang jelas saya buat-buat. Bagaimana saya bisa berbicara Melayu Manado, ke Manado saja saya belum pernah. Bahkan setelah berkunjung ke Manado pun saya masih bingung bagaimana menempatkan “bunga bahasa” seperti “le”, “dang”, “no”, apalagi “kwak” atau “kotek” yang lucu itu. Kalau sekedar “jo” cukup mudah menempatkannya.

Konversasi saya dengan Jenny cukup akrab kendati torang belum baku dapa muka. Dia memanggil saya dengan “mas”. Sejak itu serempak seluruh orang Minahasa yang saya kenal memanggil saya deng mas. Patrice “Johny” Tamengkel suami Jenny panggil saya mas. Anak-anak Johny dan Jenny --Livi, Rio dan Kris-- juga panggil saya mas, kendati ketiganya lebih muda dari anak-anak saya Vinia dan Alvin. Bahkan tante Bertje dan Om Welly, Johny pe orangtua, juga panggil saya mas. Termasuk para pekerja di tempat Johny dan Om Welly, semua serempak memanggil saya deng mas. Saya senang-senang saja dipanggil mas, serasa forever young.

Baru belakangan saya mengerti setelah Jenny memberi penjelasan. Semua orang Manado, kata Jenny, memanggil mas untuk semua orang lelaki Jawa. Kalau begitu boleh jadi semua Pasukan Pangeran Diponegoro di Tondano dipanggil mas juga.

Demi Moore yang Simple

Sejak perkenalan secara wireless itu, saya mengenal satu per satu keluarga Tamengkel Adam. Jenny berkali-kali datang berobat ke RS Persahabatan Jakarta dan harus menginap satu atau beberapa minggu setiap kali datang dari Manado. Dia selalu menginap di kompleks Pertamina itu dan menjadi akrab dengan pacar saya, Lince, yang juga in de kosten di situ. Tapi yang paling intens pertemuan saya deng Jenny adalah saat dia berobat selama lima bulan terakhir (Mei-Oktober 2009). Saya menjadi lebih mengenal dia.

Saya sampai pada kesimpulan mengenai kepribadiannya. Jenny tipikal wanita Minahasa yang bersahaja, bertutur bahasa halus, menghargai manusia pada umumnya, berpihak pada yang tak berpunya, murah hati, religius, cinta keluarga dan sangat pemaaf. Dia ingin menjadi orang benar, bukan sekedar orang baik.

Jenny nyandak talalu suka kepada kemilau duniawi. Ketika Johny memberi hadiah handset BlackBerry, Jenny hanya menyimpannya di laci lemari di tempat in de kosten-nya. Ia tidak mau memanfaatkan jejaring sosial facebook, misalnya. Ya, handset hanya untuk telefon atau ber-short message service (SMS) deng keluarga dan kerabat dekat. Karena itu, dia tidak butuh BlackBerry.

Kalau mau, Jenny boleh berbelanja pakaian atau tas branded di Senayan City. Tapi ia lebih suka belanja di tempat murah, panas, lembab dan berinteraksi dengan pedagang dan preman di Pasar Ular, Plumpang, Jakarta Utara. Banyak sekali pakaian bermerek dunia dan berkualitas yang dibeli Jenny di Pasar Ular, tapi sebagian besar pakaian-pakaian itu belum dipakainya. Juga, dia lebih suka memakai tas tangan yang itu lagi itu lagi.

Suatu kali, torang datang ke rumah Mercy Taroreh, seorang sahabat keluarga Tamengkel Adam yang tinggal di daerah elit Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Mercy sering berpergian ke luar negeri. Sebagai isteri bung Edy yang muslim, Mercy boleh pergi umrah ke Mekkah dan Medinah paling tidak tiga kali dalam satu tahun. Mercy dan adiknya Rini sangat memerhatikan keluarga Johny. Rini suka membawa anak-anak Johny ke manapun selama mereka berlibur di Jakarta. Sedangkan Mercy adalah penggemar bulu mata sintetik. Dari A sampai Z-nya bulu mata sintetik, Mercy paham betul. Jenny dimintanya mencoba mengenakan salah satu bulu mata sintetik koleksi Mercy. Jenny pun mau mencoba bulu mata sintetik itu di belakang rumah Mercy.

Tapi, “Mercy, serasa ada yang mengganjal di pelupuk mata,” kata Jenny. “Nyandak jo. Ini terbuat dari silikon. Lembut, Jen. Ini bukan bulu mata yang Rp 15.000,-an. Ini kita beli di Hong Kong,” ujar Mercy menjelaskan. Jenny pun mau mengenakan bulu mata sintetik ini. Jenny tampak lebih cantik. Saya pun menyumbang komentar,”Wah Jen, kalau pakai bulu mata sintetik seperti ini, Johny pasti tergila-gila deng Jenny.Semua cewek Manado, lewat. Kalah. ” Semua tatawa. Sebentar bulu mata dipakai, Jenny melepasnya. Dia lebih nyaman dengan dandanan apa adanya. Simple.

Mercy memperlihatkan sebentuk cincin berlapis emas yang dibelinya di Abu Dhabi. Tak biasanya Jenny meminta barang orang, kali ini dia berani minta cincin cantik itu pa Mercy setelah mencobanya dan dilihat-lihatnya cincin itu. Memang cantik cincin ini. Kenaehan lain juga terjadi pada Maudy teman Jenny lainnya. Ia minta dibuatkan masakan manado kesukaannya. Kepada Lince, Jenny minta dua lembar baju. Ini bukan Jenny banget. Firasat seperti ini baru dorang sadari setelah Jenny tiada.

Kesederhanaan ini justru menjadi kunci kecantikan Jenny luar dalam. Suatu ketika Jenny beramai-ramai bersama Lince, Rini (teman in de kosten di Kompleks Pertamina), seorang teman Minahasa yang tinggal di Cibubur dan Iha (maid servant di rumah ibu in de kosten) datang ke tempat teman saya seorang fotografer, Tutut. Semua perempuan ini belum mandi, kecuali Rini yang mau bafoto untuk dikirim ke Australia dan May isteri Tutut. Niat Jenny berfoto sebenarnya hanya ingin menertawakan diri sendiri dalam keadaan rambutnya gundul, botak tanpa rambut.

Hasil fotonya mengejutkan. Posenya justru sudah seperti model professional. Kalem, tenang dan tatapan matanya mencerminkan wibawa seorang humanis. Apalagi ketika ia mengenakan sunglass plastik milik putra sang fotografer. Dia selayaknya Demi Moore yang sedang gundul. “Dari sudut pemotretan mana pun, Jenny kelihatan mudah berpose dan cantik, “ kata Tutut. Foto-foto yang diambil sekitar bulan September 2008 ini, menjadi sangat mencuat ketika saya menemukan file-nya bersama Tutut. Tutut kemudian mengolahnya dan men-tag ke account Johny di facebook.

Matheus: 5

Jenny memang suka membela orang kecil. Lince, yang sekarang so jadi kita pe maitua, memang suka menawar sayur mayur kepada tukang sayur yang suka lewat di muka rumah. Jenny menasihati Lince, jangan tawar lagi harga tukang sayur. “Kasiang, dorang orang kecil toch,” begitu Jenny pe nasihat.”Tapi kalau di Pasar Ular, kita boleh tawar , kak Jen?,” Tanya Lince.”Boleh, boleh jo. Mereka pe omset besar, “ timpal Jenny sambil mengangguk-angguk khas Jenny.

Kemurahan hati Jenny hampir tak berbatas. Sudah lama dia ingin mengajak Lince ke Manado dan sekitarnya. Setelah minta izin deng saya yang sedang di Pasuruan, Jawa Timur, akhirnya Lince terbang bersama Jenny ke Manado pada awal Januari 2009. Lince punya sedikit benjolan di payudara kirinya. Jenny menyarankan untuk segera dioperasi sekalian di Manado saja. Lince dibawa rame-rame ke dokter bedah kenalan Isye Lagor, teman dekat Jenny, di sebuah klinik di Manado.Operasi tumor jinak berlangsung satu setengah jam dan sukses. Lince boleh langsung kembali ke Talawaan, rumah Johny. Saya sangat berterimakasih kepada Tuhan serta Johny dan Jenny yang telah mengulurkan tangan kepada Lince untuk biaya operasi tumor jinak ini.Saya hampir kehilangan daya mengetahui ada orang setulus Jenny yang membantu operasi tumor jinak isteri saya . Saya nyanda tahu harus deng apa membalas kebaikan ini, kecuali harus all out membantu Jenny berjuang melawan kankernya.

Jenny juga memberi bantuan finansial untuk operasi tumor payudara seorang teman dari Manado. Operasi dilakukan di RS Dharma Nugraha, Jakarta untuk beberapa hari. Padahal Jenny sendiri sedang menjalani bermacam-macam terapi yang menelan biaya begitu besar. Semua dilakukannya dengan penuh keikhlasan dan rasa kemanusiaan yang tinggi serta tak banyak orang yang tahu.
.
Di sisi lain, dia gagap teknologi, gatek. Sama sekali Jenny tidak mau menyentuh tehnologi baru yang bernama facebook. Jejaring sosial ini bagi Jenny sama sekali tidak produktif, kecuali connecting people. Ia lebih suka membaca Al-Kitab atau mendengarkan khotbah di radio serta rajin ke Gereja Tiberias di Kelapa Gading, persekutuan doa di Bellagio, Kuningan, atau Menteng Prada, Jakarta Pusat. Demikian religiusnya Jenny, sampai anak-anaknya hafal menirukan nasihat maminya: “Ingat Matheus: 5,” Livi menirukan maminya. Nasihat ini demi kebaikan keluarga Johny dan Jenny. Jenny pasti mencintai keluarga intinya, sedangkan terhadap orang lain saja dia sangat peduli. Dia berharap suami dan anak-anaknya menjadi orang baik dan benar.

Kepada Johny, tentu Jenny sangat menyintainya. Johny pasti tahu persis hal ini. Dukungan Jenny terhadap Johny tampak ketika Johny dilantik sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum Minahasa Utara, sekitar bulan Desember 2008. Di foto dokumentasi, terlihat Jenny memasangkan pin Kepala Dinas di baju Korps Pegawai Negeri Johnny dengan bangga. Perjuangan Johny mendukung perjuangan Jenny melawan kanker dan perjuangan Johny menduduki jabatan kepala dinas PU dijalani Johny dengan bertirakat puasa selama 40 hari. Bagi saya yang memeluk Islam, puasa Johny ini sungguh luar biasa berat. Dia hanya mengkonsumsi makanan cair. Kuah atau jus, selama 40 hari non stop. Selesai berpuasa, pada bulan Oktober 2008, Johny dan Jenny, papa dan mama Jenny pergi ke tanah suci Jerusalem. Mereka bersyukur kepada Tuhan. Hasilnya boleh dirasakan Jenny maupun Johny. Jenny tampak lebih sehat, Johny naik pangkat jadi pak Kadis PU.

Bu Kadis yang Loyal

Pengujian tulang belakang Jenny dilakukan pada bulan Juli 2009. Kanker tulang belakang telah menempel di beberapa bagian. Hasil foto tulang belakang menunjukkan bercak-bercak hitam mengerikan. Tapi Jenny hampir tidak pernah mengeluh, kendati mungkin sakitnya bukan kepalang. Jenny sudah tahu hasil foto ini, namun dia tidak mau mengambil print out analisis yang dikeluarkan oleh RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Atas permintaan Johny, saya mencari hasil analisis ini di RS Persahabatan setelah Jenny kembali ke Manado. Paramedik di RS Persahabatan yang saya kenal berkomentar: “Seharusnya hasil ini dibawa oleh pasien, “ katanya menjelaskan. Tapi Jenny membiarkan print out ini tetap di RS Persahabatan. Dia tahu hasil analisis itu, tapi dia masih berupaya mencari kesembuhan. Siapa tahu mukzizat Tuhan menghampirinya lagi.

Pada Agustus 2009, Jenny sebetulnya ingin pulang ke Manado. Ada event dunia Bunaken Sail dan acara Agustusan di Kabupaten, juga melepas rindu baku dapa dengan keluarga. Tetapi ada terapi yang harus dijalani di Jakarta bulan itu. Ah, terpaksa Jenny tidak dapat menyaksikan Johny mengendarai jet ski di event Bunaken Sail ini. Jenny juga tidak dapat menghadiri perayaan Agustusan di Kabupaten Minahasa Utara. Namun semangat untuk menjadi ibu Kadis PU yang baik, tidak dilupakannya.

Meskipun keadaan tulang belakang Jenny sakit, ia bertekad membelikan seragam senam dan jalan sehat untuk Suku Dinas Pekerjaan Umum Minahasa Utara. Bersama Lince dan saya, Jenny memilihkan pakaian dan topi seragam buat Dinas PU Minut di sebuah toko di Mangga Dua, Jakarta. Bahkan ketika Suku Dinas Kesehatan Minut memintanya untuk membeli seragam serupa tapi lain warna, Jenny mau juga. Padahal dalam kontes, jelas Dinas Kesehatan bersaing dengan Dinas PU.

Ketika Jenny datang berobat lagi ke Jakarta, sebenarnya ini perjuangan yang berat dan menyiksa. Pita suara Jenny mengalami gangguan. Pengobatan kali ini memang yang terlama dijalani Jenny. Dari bulan Mei hingga Oktober 2009 ia meninggalkan keluarga, Johny dan anak-anaknya di Manado. Sebagai seorang ibu, meninggalkan keluarga sama saja dengan hidup di pengasingan. Kegiatan rutin mengurus suami, mengurus anak-anak dan toko di samping rumah, tanpa boleh melihat kelima anjing kesayangannya—adalah siksaan batin yang menyakitkan. Ia mengandalkan Livi sebagai kakak tertua untuk mengurus toko dan adik-adiknya, Rio dan Kris. “Jangan lupa ke gereja hari minggu, ya.., “ pesannya kepada Livi.

Livi sebenarnya sangat Jenny dambakan untuk menyelesaikan pendidikan setinggi-tingginya. Tapi Livi seperti memilih jalan hidupnya sendiri sejak usia dini. Misalnya, ketika bersekolah di taman kanak-kanak Surabaya, ia menjadi preman kecil yang ditakuti teman-teman TK-nya. Sejak SD sampai SMA banyak sekolah yang sudah disinggahinya.
Rio “Gode” Wulur (disebut demikian karena badannya tinggi besar dan membedakannya dengan Rio adik Livi), pacar Livi, mendapat tugas dari Jenny supaya Livi diubah menjadi tidak lagi tomboy dan menjadi lebih feminin. “Tolong Rio, ajari Livi cara duduk yang baik, jo” ujar Jenny pa Rio suatu kali.

Sang Nenek, Tante Bertje, sudah menengarai sifat-sfat Livi yang enggan dengan pendidikan formal. Livi punya ketegasan dan punya bakat memimpin apapun. “Sekolah tinggi-tinggi, pulang kampung paling disuruh ngurus kebong. Haha…,” kata Livi ringan. Livi sadar, di dalam dirinya ada darah Adam, mengalir pula darah Tamengkel. Darah Tamengkel lebih kental mengaliri Livi. Sang nenek boleh mencoba kemampuan Livi mengoperasikan bisnis keluarga: toko, ikang, ayam, babi dan kebong.

Rio dan Kris. Yang pertama memiliki air muka Jenny, yang kedua seperti copy-an wajah Johny sewaktu kecil. Rio dandy seperti Johny, Kris sederhana seperti Jenny. “Parfum saya yang branded, sisa setengah dalam dua minggu. Dipakai Rio. Gawat,” cerita Johny.

Kris memiliki bakat dalam bermain golf, bahkan sempat menjadi atlet golf junior dari Sulawesi Utara. . Inti permainan golf adalah melawan diri sendiri. Artinya, pegolf yang baik pasti bisa mengendalikan emosinya. Dan ini bekal hidup yang luar biasa bagi Kris kelak.

Anak Pak Owang yang Berlimpah Mukzizat

Jenny termasuk jenis manusia yang bisa mengendalikan emosi di masa kedewasaanya. Ketika muda, Jenny agak tomboy. Suka ngebut naik motor milik papanya yang polisi dan biasa ditangkap polisi. Ketika dewasa dan berumahtangga, sisi keibuan Jenny lebih menonjol. Pak Johannes “Owang” Adam mengenang Jenny sebagai anak yang penuh perhatian. “Pagi-pagi ketika saya mau duduk dekat jendela, saya lihat ada susu sapi sebotol. Ah, ini pasti Jenny yang mengantar,” kenang pak Owang, pensiunan perwira Brigade Mobil POLRI, bangga dengan puterinya.

Jenny sungguh seorang yang mau berkorban untuk orang lain dan sangat pemaaf. Apabila Johny berbuat salah, sekadar sapaan “say(ang)” dari Johny, cukup meluluhkan hati Jenny.
Baginya, Johny adalah soko guru rumah tangga, yang menopang kehidupan rumah tangga dan patut dihormati putera-puterinya.

Yang lebih luar biasa adalah semangat Jenny dalam melawan kanker yang menggerogoti fisiknya. Ia pernah meminta dokter untuk melipatduakan obat kemoterapi supaya lekas selesai. Tentu dokter tak mengizinkannya. Boleh dibayangkan, obat kemoterapi dengan dosis tertentu harus dicampur dengan vitamin dan sari makanan sebelum diinfuskan ke tubuh. Sehabis kemoterapi pasti kepala terasa pening bahkan rambut harus rontok. Ini obat keras, tapi Jenny mau mencoba dengan dosis tinggi.

Dalam pengobatan lima bulan terakhir, Jenny harus mengalami penyinaran sebanyak 55 kali dan bone doughnut beberapa kali. Semangat Jenny, kesabaran Jenny, ketegaran Jenny melawan kanker --sampai mau melakukan terapi penyinaran sebanyak 55 kali-- adalah demi kesembuhan dirinya dan ingin melihat putera-puterinya berangkat dewasa. Ingin melihat Livi menyelesaikan sekolahnya dan melanjutkan studi di luar negeri. Kalau Livi menikah, ia ingin melihat langsung pernikahannya.

Dengan penyinaran sebanyak itu, Jenny ingin pulang ke Manado dalam keadaan sehat dan boleh berjalan normal lagi. “Apa kata orang, sudah berbulan-bulan di Jakarta, bajalang saja masih belum normal,” ungkapnya suatu kali.

Kemoterapi, penyinaran, terapi tulang puluhan kali dilakukan Jenny dengan ketegaran luar biasa. Semangat melawan kanker ini diketahui Tuhan. Dan ia belum menyerah begitu saja. Ia kutip ucapan dokter Wimpy Panggarbesi di RS Persahabatan. “Kanker harus dilawan, tidak boleh hanya menunggu mukzizat Tuhan.” Jenny yakin betul dengan ucapan ini, dan Tuhan memberi bonus berlebih untuk Jenny. Orang-orang penderita kanker seganas yang diderita Jenny mungkin hanya bertahan satu dua tahun saja, kata dokter Seto dari RS Persahabatan juga.

Maka Jenny mendapat informasi tentang terapi nutrisi melawan kanker. Ada bekas penderita kanker yang sembuh setelah melakukan terapi nutrisi. Dua kali ia mengikuti semacam workshop, sarasehan, tentang terapi nutrisi di Klub Sehat, Cideng, Jakarta Pusat. Saya mengantar Jenny pada sarasehan kedua. Sesinya adalaha memasak nutrisi organik di lantai 3 gedung Klub Sehat. Jenny yang sudah sakit di punggung, harus menapak naik sampai lantai 3. Pastilah tulang punggungnya semakin sakit. Dari sarasehan itu Jenny disarankan untuk mengkonsumsi jus jeruk bali atau jeruk nipis peras selama 20 hari. Mulailah Jenny menjalani terapi nutrisi ini.

Saya mencari jeruk bali di pasar Klender, Jakarta Timur. Lima buah saya beli, satu saya kupas untuk memudahkan Jenny membuat jus. “Mas, jangan dikupas, Kulitnya juga penting untuk dijus deng dagingnya,” katanya memberitahu saya. Astaga, jam enam pagi, dalam keadaan perut kosong, Jenny harus meminum jus kulit dan daging jeruk bali. Orang sesehat apapun pasti tak tahan minum jus daging dan kulit jeruk bali yang begetah. Rasa pahit dan masam yang tajam pasti mampu merobek lambung Jenny. Akibatnya ia kemudian selalu merasa mual dan muntah-muntah. Apalagi terapi jeruk nipis 20 hari. Hari pertama sebuah, hari kedua dua buah, hari ketiga tiga buah dan seterusnya sampai 20 buah pada hari keduapuluh!! Untung terapi ini tidak dijalani Jenni.

Seorang dokter perempuan Ambon, ahli terapi nutrisi lulusan Amerika, bertemu Jenny di Klub Sehat itu. Jenny kemudian membuat janji bertemu di Apartemen Batavia dekat Bendungan Hilir. Rupanya ayah dokter Genty pernah berkunjung ke rumah Jenny di Manado. Dokter Genty kasih nasihat. “Tidak semua terapi nutrisi cocok untuk semua penderita kanker,”katanya. Ia menyarankan stop jus jeruk bali, ganti dengan makanan organik. Sejak itu Jenny banyak makan serba organik. Sampai ketika Maudy, teman dekat Jenny lainnya di Jakarta, ke Bandung, Jenny titip oleh-oleh pisang bolen. “Pisangnya yang organik ya…” kata Jenni. Mana ada pisang organik dibikin pisang bolen. Jenny tatawa deng keseriusan Maudy di ujung percakapan telepon.

Goodbye Jakarta
Sebenarnya Jenny sudah sebulan berniat pindah tempat in de kosten. Tapi karena tante Bertje dan anak-anak mau datang, Jenny menunda niatnya itu. Baru setelah tante Bertje dan anak-anak pulang ke Manado pada awal Oktober, Jenny pindah ke tempat in de kosten di muka RS Persahabatan.

Kamar-kamarnya relatif kecil, tapi ada kamar mandi di dalam. Signal selular sulit menembus rumah beton berkamar 80 ini. Seperti hotel, memang. Tapi Jenny mau tinggal di sini. Ia membayar di muka untuk sebulan. Sepertinya sudah tahu, ia tidak akan tinggal sebulan di sini. Katanya kepada pemilik rumah in de kosten, bagaimana kalau saya tidak sampai sebulan tinggal di sini? Isteri orang Bank Indonesia ini menjawab, ah tak masalah. Nanti bisa dibicarakan. Jenny terkesan dengan jawaban ibu yang baik ini.

Ada yang meminta lebih baik Jenny pulang ke Manado saja. Tapi Jenny, atau siapun, tak mau ditekan supaya segera pulang ke Manado. “Kita pulang kalau so sehat,”katanya kepada Pipo, Ipar Jenny yang bersuami Joseph kakaknya. Pipo datang menjenguk Jenny selain mengajak pulang Eqin, anaknya yang baru lulus sarjana. Eqin adalah keponakan yang disayang Jenny selain Collin Palealu anak adiknya, Ina dan Revi Palealu. Datang juga menjenguk Ina Adam Palealu, pada tanggal 14 Oktober itu. Ina hanya menginap semalam di tempat Jenny. Esoknya Ina pulang ke Manado.

Tanggal 15 pagi, selepas mengantar Lince, saya singgah ke tempat Jenni. Masih jam 09.00 pagi. Matahari cerah, Jenny masih dengan celana pendek dan baju tidur sedang senam pagi dan bapanas. Selesai bapanas, Jenny duduk di sofa berdampingan dengan saya. Tiba-tiba dia berkata, “Mas tolong beli tiket ke Manado. Saya mau pulang besok,” katanya. Tentu saya terkejut. Kemarin sulit minta ampun diminta pulang, sekarang so bulat mau pulang. Ada apa? Seperti punya firasat, ia ingin pulang berkumpul dengan keluarga dan menghadiri hari jadi mamanya tanggal 16 Oktober. Jenny akhirnya memesan dua tiket untuk dirinya dan Yola, sepupu Johny, ke biro perjalanan di Manado lewat telefun. Ia kemudian mentransfer doi ke BCA deng saya.

Semua barang Jenny di-packing dalam kardus-kardus besar. Saya tidak boleh kasih tahu Johny bahwa semua barang Jenny dibawa pulang. Padahal, seharusnya tanggal 8 November Jenny menjalani terapi bone doughnut di RS Dharma Nugraha, dekat RS Persahabatan. Kabarnya malam menjelang kepulangan Jenny itu, dia banyak berceloteh dan berbual hingga dini hari. Ada tante Vietje, adik Om Welly, dan suaminya Om Yap. Ada Yola, Maudy, Isye Lagor, Pipo dan Eqin. Tentu gaduh suara perempuang-perempuang ini. Mereka adalah orang-orang yang mencintai Jenny sepenuh hati. Orang selalu ramai menjenguk Jenny di mana pun. Di rumah sakit di Jakarta, di tempat in de kosten-nya, apalagi di RS Manado. Pasti ramai yang datang. Ini cermin dari kepribadian Jenny yang menyenangkan sehingga dicintai banyak orang.

Pukul enam pagi rombongan tiga oto mengantar Jenny ke airport Soekarno-Hatta, Cengkareng. Dalam rombongan itu ada Phoebe kerabat keluarga Tamengkel Adam dan ibunya. Juga ada Nancy, adik Yola. Mereka pun satu oto dan Jenny duduk di mobil ini. Di mobil tante Vietje ada Maudy, Isye dan Pipo. Eqin datang sendiri dari tempat in de kosten-nya. Di oto saya hanya berdua deng maitua, karena kami hampir terlambat sampai di tempat Jenny.

Kepulangan Jenny ini terkesan aneh di hati saya. Saya dan Lince jelas merasa kehilangan orang yang banyak mengulurkan tangan kepada kami ini. Orang yang demikian baik. Orang yang setiap hari saya tanyai mau makan apa atau mau beli obat apa. Sekarang tiba-tiba mau pulang?? . Saya masih berharap dalam hati, semoga Jenny datang ke Jakarta lagi tanggal 8 November. Tapi, kenapa penggorengan stainless steel yang baru dibelinya di Mall Kelapa Gading juga dibawa serta? Apakah Jenny benar-benar tidak balik ulang ke Jakarta?.

Setelah bafoto ramai-ramai, saya pun mengucapkan selamat jalan kepada Jenny. Mata saya berkaca-kaca ketika saya cium pipinya sebagai ucapan selamat jalan. Jenny kelihatan terdiam menahan sesuatu. Lince beruntung bisa menggandeng Jenny masuk airport sampai ke ruang tunggu. Jenny nyandak mau pakai kursi roda. Ia mau membutikan, bahwa dirinya kuat dan tegar melawan penyakit. Dan paling tidak mau orang bilang; “kasihang Jenny”. Belakangan saya mendapat cerita, pesawat Lion Air yang membawa Jenny, transit di Makassar beberapa saat. Kondisi Jenny drop. Besoknya Jenny cerita di telpon pa Lince, dia sangat sedih, sedih meninggalkan teman-temannya di Jakarta.

Johny marah kenapa Jenny tidak duduk di kelas bisnis supaya punggungnya bisa rebah dan pesawat pakai transit di Makassar lagi? Johny tahu punggung Jenny sakit bukan kepalang dan harus terbang selama lima jam Jakarta-Makassar-Manado. Johny bertanya pa tante Vietje, siapa yang pesan tiket seperti itu. Tante Vietje nyandak tahu. Saya bilang, Jenny pesan sendiri ke travel bureau di Manado lewat telpon dan doi ditransfer via BCA deng saya. Sore baru tiba di Manado. Jenny dijemput rombongan yang beramai-ramai ke airport Manado. Rumahnya di Talawaan hanya 10 menit dari airport. Tapi ia memilih langsung beristirahat di rumah pak Owang di Manado sambil menunggu malam memperingati hari jadi sang mama. Saya telpon Pipo dan bilang Jenny sedang beristirahat.

Tentu para penjenguk Jenny di rumah Talawaan banyak sekali. Sampai-sampai ia sulit beristirahat. Dua minggu kemudian, Jenny dibawa berobat ke Amurang, tiga jam perjalanan dari Talawaan. Di sana ia berobat pa tabib spesialis penyembuh kanker dengan terapi herbal yang ajaib, om Hok Umpel. Pria 60 tahunan kurus dan itang ini meramu rempah-rempah dan obat Cina yang dioleskan ke bagian tubuh yang terserang kanker. Tumor marker Jenny sebelum berobat pa Om Hok tercatat sudah mencapai 1100. Setelah berobat, turun drastis menjadi hanya 300 menurut hasil pengujian di laboratorium Prodia Manado.

Selama di Amurang, torang masih berkomunikasi. Jenny mengeluh sulit tidur karena rumah yang ditempatinya tidak ber-AC. Jenny memang sulit tidur di kamar yang tak ber-AC. Saya bercanda menggoda Jenny. “Wah Jen, enak di Amurang bisa bapanas terus sambil lihat-lihat nyiur melambai. Kalau di Jakarta, kalau lihat Nyiur Melambai harus ke Rawasari,” kata saya. Nyiur Melambai di Rawasari adalah restoran Manado yang Johny dan Jenny suka membeli makanan. Di kawasan Paniki dekat airport Manado juga ada restoran Nyiur Melambai. “Bapanas terus nanti itang seperti paniki. Orang itang nyandak boleh jadi malaikat karena semua malaikat kulitnya putih,” kata Jenny di Amurang. Di Amurang boleh bapanas atau sauna gratis, Jen, kata saya. Jenny menjawab singkat pada jam 21.53 WIB tanggal 8 November 2009 (hari yang seharusnya dia terapi di Jakarta) itu dengan SMS singkat seperti ini: “ haha, jngn lupa psn ticket ke Mdo…Biar ms murah. Slm rindu…

Saya terkejut dengan jawaban seperti itu. Saya deng maitua memang berencana ke Manado sekitar bulan Desember, bukan bulan November. Tapi mengapa Jenny meminta saya pesan tiket sekarang “biar masih murah. Salam rindu,” katanya. Sejak menerima SMS itu hati saya selalu was-was dengan kondisi tubuh Jenny. Saya tetap menyimpan SMS itu sampai sekarang dan tak akan saya hapus. SMS itu talalu bermakna bagi saya.

Saya Tidur
Selama berobat di Amurang, Rio “Gode” Wulur selalu siap mengantar persediaan oksigen yang dibutuhkan Jenny untuk membantu pernafasannya. Saat itu, mungkin paru-paru Jenny sudah terserang kanker. Indikasi batuk-batuk sudah kelihatan sebelum Jenny pulang ke Manado. Kanker yang pada tahun 2007 hanya di payudara Jenny, sekarang dengan ganas menyerang tulang belakang dan cepat menyebar ke paru-paru dan bagian tubuh lainnya.

Kanker so merangsek liar. Disarankan Om Hok, Jenny untuk tetap mengkonsumsi obat dokter. Terutama Veraflex, obat penyeimbang hormon. Hormon tidak boleh berfluktuasi. Kanker lebih cepat menyebar pada saat hormon tidak stabil. Karena itu, tanggal 9 November hari Senin, Yola yang ikut ke Amurang, menelpon saya untuk membeli Veraflex dan dikirim ke alamat bapak Piet Lumempouw di Kantor Pos Besar Manado. Senin minggu berikutnya Johny meminta saya membeli 3 strip Veraflex lagi untuk dikirim ke alamat pak Piet. Tumor marker Jenny sebelum berobat pa Om Hok tercatat so mencapai 1100 menurut hasil lab di Jakarta. Setelah berobat pa Om Hok, turun drastis menjadi hanya 300 menurut hasil pengujian di laboratorium Prodia Manado.

Hari Sabtu tanggal 21 November saya deng Lince mengantar Ina Adam Palealu belanja di Pasar Ular. Telfun berdering dari Johny di Manado. Dia mengabarkan kondisi Jenny memburuk dan sekarang sudah RS Permata Bunda Manado. “Katanya mau ke Manado, mas? Kapan?” Johny bertanya. “Tanggal 27, John. Karena Lince nggak dapat izin dari kantornya. Tapi ngomong dulu deng Lince ya,” jawab saya. Johny kecewa dengan jawaban saya, tapi dia terus bicara deng Lince. Akhirnya saya memutuskan dan setengah berteriak ke Lince:”Bilang Johny, aku terbang Senin pagi pakai pesawat pertama. Hari Minggu saya ada janji ketemu orang. Ina tahu siapa orangnya.” Johny lega dengan jawaban saya. Saya tanggap, Johny pasti punya firasat tentang isterinya.

Minggu malam kami membuka album-album foto. Kami sungguh bersedih mendengar kondisi Jenny memburuk. Kami melihat-lihat betapa Jenny sehat di perkawinan saya pada bulan Februari 2008. Jenny sangat cantik dengan rambut berponi berkebaya putih dan gemuk. Foto ini dipajang Jenny di ruang keluarga di Talawaan.(Foto ini pula yang dipajang di bawah kaki jenazah Jenny). Pada Januari 2009, foto-foto Jenny bersama Lince di Manado, juga menampilkan Jenny yang sehat.

Lince mulai menangis dan punya firasat kurang baik dengan kondisi Jenny. Saya telpon tante Vietje di Bekasi, mengenai rencana saya terbang hari Senin. Tante Vietje bilang menyusul hari Selasa setelah suaminya om Yap berangkat ke lapangan (minyak). Lince sudah beli tiket dan akan terbang tetap pada 27 November.

Saya tiba hari Senin 23 November jam 11.45 di airport. Dari airport, saya langsung dibawa Noldy, karyawan Johny, ke RS Permata Bunda Manado. Sekitar jam setengah satu saya tiba di RS Permata Bunda. Johny menyilakan saya menegok Jenny. “Say, ini ada mas, “ kata Johny pa Jenny yang duduk berselonjor kaki dan mukanya disanggah meja makan kecil dan bantal. Jenny mengangkat kepala sekejap dan menunduk lagi. “Mas keluar sebentar,” tangannya menunjuk pintu. Jenny ingin ganti baju dan disisir rambutnya oleh Yola.

Setengah jam kemudian, Johny menyilakan saya masuk kamar lagi. “Say, ini mas,” kata Johny. Saya pegang tangan Jenny yang mulai bengkak. Sambil bercanda saya bilang,” Tadi saya disuruh keluar. Sekarang so masuk lagi.”Sambil menunduk dia tanya saya:” Mas kapan Lince datang? ,” kata Jenny. “Jumat, Jen.” “Jam berapa, mas?” Jenny bertanya lagi.” Saya jawab: “Jam delapan, Jen.” “Jam delapan saya tidur,” jawab Jenny. “Nyandak, jam delapan pagi dari Jakarta, sampai sini jam 14.00-an,” saya menjelaskan. Selang beberapa saat Jenny angkat bicara lagi. “Mas pakai ras ya,” saya tidak mengerti deng kalimat Jenny. “Maksudnya, pakai mobil Rush, mas, “kata Livi. Waduh, Jenny, betapa engkau mahluk Tuhan yang mulia. Dalam keadaan sakit bukan kepalang masih befikir tentang saya harus naik mobil apa. Luar biasa.

Malamnya saya deng Rio Wulur mengantar maminya Yola dan kakaknya ke Paso, dekat Tondano. Saya sempat mandi air panas di rumah seorang kerabat mereka di Paso. Kami kembali ke RS Permata Bunda dan bermalam di sana. Pagi-pagi saya bangun dan menyempatkan diri menengok keadaan Jenny. Saya telpon Lince di Jakarta. Jenny mungkin mau bicara dengan Lince. Setelah bicara deng saya, Lince akhirnya mendapat kesempatan bicara langsung deng Jenny. Lince menanyakan kondisi terakhir Jenny.”So lebih baik sekarang, “ jawab Jenny. Mungkin Jenny merasa lebih baik, karena tumor markernya so tinggal 300. Sementara itu Anne Mapandy Adam, kakak Yenny yang dekat secara psikologis dan spritual dengan Yenny, mengelus - elus punggung Yeny. Anne yang suka tersenyum setiap saat, kini air matanya meleleh. Tapi tetap tersembur senyuman di bibirnya. Anne sangat tahu, betapa adiknya ini gigih, dan tegar dalam melawan kanker, untuk itu dia tersenyum. Tapi melihat tubuh Yenny yang mulai bengkak-bengkak, dia tidak tega dan menangis.


Sore hari, seperti biasa, om Hok Umpel datang dari Amurang. Menurut tabib ini, Jenny boleh baik asal asupan makanan ke tubuh Jenny cukup bagus. Padahal Jenny so sulit makan. Hanya dua-tiga sendok makan yang boleh masuk melalui mulut Jenny. Hari Selasa malam, suster jaga berusaha mencari nadi Jenny untuk menginjeksikan jarum infus. Nadi di tangan kiri sulit ditemukan, karena belum pulih sejak Jenny berkali-kali dikemoterapi. Nadi kanan juga so bangkak, tidak mungkin mencari nadinya. Nadi di kaki juga so bangkak dan Jenny tidak mau diinfus lewat kakinya. Akhirnya hari Selasa malam itu, dokter boleh memasukkan infus ke tangan Jenny. Sementara itu, Johny pe papi om Welly, terganggu kesehatannya dan masuk RS Angkatan Darat akibat memikirkan kondisi menantunya.

Pagi hari, Rabu pagi, Jenny bangun dan minta semua jendela dibuka. Bahkan dia ingin berjemur di dekat jendela yang dianggapnya seperti hotel. Ginjal Jenny mungkin sudah kurang berfungsi baik, sehingga tidak dapat mengubah gula menjadi insulin. Akibatnya, racunlah yang diserap darah dan mengalir ke otak.

Lince sejak hari Minggu gundah dan punya firasat akan terjadi sesuatu pada Jenny pada hari Rabu. Hari rabu pagi saya telpon Lince, katanya jantungnya berdegub kencang tak tahu sebabnya. Saya telpon Lince setiap saat hari itu.

Jenny minta disorongkan tempat tidurnya di dekat pintu balkon untuk mendapat udara segar. Di kamar, katanya, sangat panas. Padahal kamarnya ber-AC. Para karyawan Dinas PU Minahasa Utara berombongan datang. Mereka memberikan hormat kepada ibu Kadis tercinta yang pernah membelikan seragam senam dan jalan sehat. Para wanita Dinas PU ini menangis melihat kondisi Jenny.

Setengah jam kemudian, ia minta dibawa masuk deng ranjangnya. Tak lama di dalam, Jenny mau berjalan. Joseph Adam, Alex Adam dan Rio Wulur memapah Jenny seolah boleh berjalan keluar. Ia duduk di sofa hitam sambil mukanya disanggah meja kecil dan bantal. Kris anaknya baru pulang sekolah. “Mami, ini Kris so pulang,” Jenny tak menjawab. Sekitar sejam duduk, Jenny minta masuk lagi.

Sore itu sebenarnya Jenny minta pulang ke Talawaan. Om Hok Umpel datang dari Amurang langsung masuk ke kamar Jenny. Tak berapa lama, Rio menangis sejadi-jadinya, meskipun layar monitor masih naik turun menggambarkan denyut jantung Jenny. Tapi Rio yang sekolah di jurusan keperawatan Universitas Klabat, sudah tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba tante Ol, Joice (sepupu Johny) pe mami, tanya deng saya yang duduk di sebelah mama Jenny. “Mau diformalin di mana Jenny?” tanya tante Ol. “Lho, Memang Jenny so meninggal?” tanya saya terkejut.

Tangis meledak. Livi histeris tak bisa menerima maminya meninggalkan anak-anaknya untuk selamanya. Rio kecil, Johny dan Kris deng saya berpelukan sambil menangis. Keluarga Tamengkel Adam berduka. Jenny meninggalkan kita samua pada Rabu 25 November 2009 pukul 18.00 WITA di RS Permata Bunda, Manado.




***
Suatu ketika Jenny pernah diskusi deng saya di Jakarta. Saya mengutip pendapat pelukis besar Indonesia keturunan Arab, Raden Saleh (bekas rumahnya menjadi RS PGI Cikini, Jakarta) yang pernah belajar di Dresden, Jerman (Timur). Pada tahun 1839, beliau ditanya seorang peneliti Swedia di Bogor, tentang apa pendapatnya mengenai agama-agama di dunia. Raden Saleh yang muslim menjawab Carl Bok, peniliti Swedia itu, dengan cergas. “ Kalau kita mati, Tuhan tidak tanya apa agama kita. Tapi Tuhan akan tanya, apa yang kita perbuat selam hidup di dunia,” begitu pendapat raden Saleh. Saya setuju dengan pendapat itu dan Jenny mengangguk-angguk. Khas Jenny.

Tiga malam Jenny disemayamkan di rumah duka Talawaan. Kamis malam sekitar jam 24.00 saya minta izin Johny untuk berbicara di depan almarhumah Jenny bersama keluarga besar. Saya berbicara sambil menangis, mengingat betapa mulianya hati Jenny, betapa tegarnya dia menghadapi hidup, betapa kuatnya dia melawan kanker. Jenny pernah berpesan bahwa dia ingin bukan hanya menjadi orang baik, tetapi menjadi orang yang benar. Orang benar pasti baik. Orang baik belum tentu benar. Demikian kalimat Jenny. Bagi anak-anak, Jenny adalah the best mom. Buat Johny, Jenny adalah the best wife, yang sulit dicari gantinya.

Dia memperoleh penghormatan dari ribuan orang pelayat. Johny ingin pemakaman isterinya sekhidmat dan seagung mungkin. Sebuah peti jenazah terbaik diberikan kepada Jenny. Dan sebuah kavling 90 meter persegi di pemakaman dipersembahkan buat Jenny. Selamat beristirahat dalam damai, Rest in Peace Jenny Tamengkel Adam. (19 Juni 1967-25 November 2009).


Jakarta, 25 desember 2009.


Bachtiar Abdullah
Teman keluarga Patrice “Johny” dan Jenny Tamengkel Adam di Jakarta.
Artikel pendek ini saya tulis demi menghormati perjuangan Yenny melawan kanker, sekaligus boleh menjadi teladan bagi kita semua untuk berbagi dengan sesama secara ikhlas. banyak lubang - lubang dalam artikel ini, karena saya tulis hanya dari beberapa sumber, untuk itu saya mohon maaf.
Terima kasih.
(Bekas wartawan Tempo dan Wakil Pemimpin Redaksi majalah bisnis Prospek)